Ini adalah sejarah
nenek moyang bangsa Indonesia dari tulisan Mochtar Lubis pada tahun 1986 dalam
pidato kebudayaannya yang berjudul “Situasi Akar Budaya Kita”. Nenek moyang
kita adalah bahagian dari arus perpindahan manusia yang bergerak di zaman
lampau yang telah hilang sebagai hilangnya bayangan wayang dari layar sejarah,
bergerak dari bagian Timur Eropa Tengah dan bagian Utara wilayah Balkan sekitar
laut Hitam ke arah timur, mencapai Asia, masuk ke Tiongkok. Dan di Tiongkok
arus perpindahan ini bercabang-cabang ke utara, timur dan selatan.
Arus
selatan mencapai daerah Yunan, sedang bagian timur mencapai laut Indo Cina. Di
sinilah tempat lahirnya budaya asal Indonesia. Manusia-manusia yang berpindah
dan bergerak ke Asia dari Eropa Tengah dan Wilayah Balkan itu adalah orang
Tharacia, Iliria, Cimeria, Kakusia, dan mungkin termasuk orang Teuton, yang
memulai perpindahan mereka di abad ke-9 hingga abad ke-8 sebelum nabi Isa.
Mereka membawa keahlian membuat besi dan perunggu.
Nenek
moyang orang Indonesia yang telah berada terlebih dahulu dari mereka di daerah
Dongson ini telah mengembangkan seni monumental tanpa banyak ornamentik yang
dekoratif. Dari pendatang-pendatang baru ini mereka mengambil alih, menerima,
dan mencernakan seni ornamentik pendatang-pendatang dari barat ini. Tidak saja
dalam ornamentik, akan tetapi juga dalam hiasan tenunan (amat banyak persamaan
antara hiasan tenun Indonesia dan Balkan umpamanya), dan juga dalam musik dan
nyayian. Jaap Kunst, seorang ahli musik, juga ahli musik Indonesia
mengindentifikasikan persamaan nyayian rakyat di pulau Flores dengan nyanyian
rakyat di bagian timur Yugoslavia (Balkan). Kebudayaan Dongson menunjukkan
lebih banyak persamaan dan kaitan dengan budaya Eropa dibanding budaya Cina.
Nenek
moyang Dongson inilah yang bergerak ke selatan, dan kemudian mencapai
Nusantara. Di Nusantara hampir tidak ada perpisahan antara zaman perunggu dan
zaman besi. Hal ini sama juga terjadi di Indo Cina. Dalam penggalian
situs-situs purbakala, perunggu dan besi selalu ditemukan bersama-sama. Hulu
pisau dongson banyak berbentuk manusia, seperti keris Majapahit. Bentuk hulu
pisau yang serupa juga ditemukan di Holstein (Jerman), Denmark, dan di
Kauskasus.
Tetapi,
sebelum nenek moyang dari Dongson turun ke Nusantara, kelompok-kelompok manusia
lain telah terlebih dahulu datang. Selama zaman es terakhir, kurang lebih
15.000 tahun sebelum Masehi, sejarah bumi Nusantara menunjukkan bahwa sebagian
besar Nusantara bagian barat menyatu dengan daratan Asia Tenggara, Jawa,
Sumatera, Kalimantan dan wilayah yang kini laut Jawa. Ketika es berakhir,
permukaan laut naik kembali, dan terbentuklah gugusan pulau-pulau seperti yang
kita kenal kini. Sejarah bumi Nusantara telah berpengaruh besar pada
perkembangan manusia Melayu-Polinesia. Mereka menjadi bangsa maritim, yang
kurang lebih 1000 tahun sebelum nabi Isa megarungi Samudera Hindia. Manuskrip
tua Hebrew dari masa akhir 2000 dan permulaan 1000 sebelum tahun Nabi Isa telah
menyebut perdagangan kulit manis dari berbagai tempat sepanjang pantai timur
Afrika.
Sebuah
naskah Arab dari abad ke 13 menceritakan masuknya orang Melayu-Polinesia ke
belahan barat Samudera Hindia. Naskah itu mengatakan bahwa di masa mundurnya
Kerajaan Fira’un di Mesir, tempat yang bernama Aden, yang menguasai jalan masuk
ke laut Merah (yang masa itu merupakan tempat penduduk nelayan), telah direbut
oleh orang Qumr (Melayu-Polinesia) yang datang dengan armada yang terdiri dari
perahu-perahu yang memakai cadik. Mereka mengusir penduduk setempat, membangun
berbagai monumen dan memilihara hubungan langsung dengan pulau Madagaskar dan
Asia Tenggara. Para ahli sejarah menyebutkan hal itu mungkin terjadi di masa
Nabi Isa masih hidup. Untuk masa yang cukup lama orang Melayu-Polinesia
menguasai pelayaran dan perdagangan lewat Samudera Hindia dari Asia Tenggara ke
pintu Laut Merah, sepanjang pantai timur Afrika dan Pulau Madagaskar.
Dalam
melakukan ini, mereka juga telah membawa berbagai kekayaan budaya ke Madagaskar
dan Afrika. Di Madagaskar mereka telah menetap di belahan barat pulau itu.
Hingga kini masih terlihat berbagai persamaan kata antara bahasa Madagaskar dan
bahasa suku Manyaan di Kalimantan. Ke timur, nenek moyang Melayu-Polinesia ini
berlayar jauh ke pedalaman pasifik, menetap di berbagai kepulauan, dan mereka
paling ke timur mencapai Easter Island, pulau terjauh ke timur dari Nusantara.
Jelaslah
bahwa budaya bangsa kita berakar jauh ke zaman prasejarah, ke masa silam yang
begitu jauhnya, hingga telah lenyap dari ingatan bangsa kita. Jelas pula bahwa
kita telah mewarisi budaya dunia yang ada di masa itu, di samping nenek moyang
kita telah memberi pula sumbangan pada budaya-budaya bangsa lain di seberang
Samudera Hindia, serta menciptakan berbagai budaya di Madagaskar, dan di
kepulauan-kepulauan Samudera Pasifik.
Mengingat
ini kembali, apakah kita kini, sebagai pewaris langsung dari mereka, harus
merasa gentar menghadapi abad ke 21 dan seterusnya? Seharusnya tidak! Kita
harus berani memeriksa diri secara cermat. Apa kekurangan-kekurangan kita kini,
hingga kita tidak memiliki kemampuan, keberanian dan daya cipta untuk berbuat
yang besar-besar bagi bangsa kita dan umat manusia hari ini?
Proses
melalui zaman Mesolitik mencapai zaman Neolitik mungkin terjadi kurang lebih
3500-2500 tahun sebelum Nabi Isa. Ketika itu mereka mulai tinggal bersama dalam
komunitas-komunitas kecil dan mulai mengembangkan pertanian dan sistem
pengairan. Di zaman ini berkembang akar budaya musyawarah Indonesia, karena di
kala itu belum ada kepala dan raja, dan semuanya masih dimusyawarahkan oleh
semua anggota komunitas, dipimpin oleh orang-orang yang lebih tua. Wanita ikut
bermusyawarah, dan anak-anak boleh hadir dan ikut mendengar. Di suku Sakudei di
pulau Mentawai, seorang peneliti Swiss melaporkan bahwa dia masih menemukan
tradisi musyawarah yang lama itu.
Akar
budaya kita juga tumbuh dalam kepercayaan bahwa segala yang ada di bumi
memiliki ”ruh-ruh” sendiri. Ruh manusia adalah saudaranya, yang dapat
melepaskan diri dari dalam badan seseorang, dan ruh itu dapat mengalami bencana
dalam petualangannya di luar tubuh kita, yang dapat mengakibatkan yang punya
tubuh jatuh sakit atau mati. Manusia harus berbaik-baik dalam hubungannya
dengan dunia roh ini.
Selanjutnya
nenek moyang kita di masa Megalitik itu memiliki konsep hubungan dan
pertentangan antara dunia atas dan dunia bawah. Dalam upacara-upacara khusus,
mereka membangun megalith-megalith dengan tujuan melindungi ruh dari
bahaya-bahaya yang datang dari dunia bawah, untuk menjadi penghubung antara
yang hidup dan yang telah mati, dan untuk mengabadikan kekuatan-kekuatan magis
mereka yang membangun megalith-megalith tersebut, atau untuk siapa batu-batu
itu dibangun. Megalith-megalith dibangun untuk memperkuat kesuburan manusia,
ternak dan apa yang mereka tanam, dan dengan demikian memperbesar kekayaan
generasi-generasi yang akan datang.
Kebudayaan
Megalitik ini kemudian dimasuki oleh budaya Dongson yang membawa teknologi
perunggu dan besi, dan memberikan nafas dan kekuatan serta daya cipta baru pada
kelompok-kelompok budaya di Nusantara. Diperkirakan pula bahwa budaya Dongson
membawa teknologi bertanam padi di sawah. Teknologi padi sawah mendorong
komunitas-komunitas kecil untuk lebih berintegrasi mengembangkan dan memilihara
sistem pengairan, koordinasi bertanam serempak pada waktu yang sama. Dalam
proses sejarah, teknologi padi sawah ini telah mendorong proses integrasi
masyarakat-masyarakat desa Indonesia yang hingga kini tumpuan kehidupan
terbesar bangsa kita. Ia juga erat hubungannya dengan irama iklim, datang musim
kering dan musim hujan, yang mempengaruhi pola kehidupan di Indonesia. Musim
panen merupakan musim perkawinan umpamanya.
Pemujaan
nenek moyang merupakan salah satu akar budaya bangsa Indonesia. Pandangan
kosmik mengenai kontradiksi antara dunia bawah dan dunia atas tercermin dalam
organisasi sosial berbagai suku bangsa kita; garis ibu dan garis ayah,
hubungann dasar antara dua suku yang saling mengambil laki-laki dan perempuan
dari dua suku untuk perkawinan, membuat tiada satu suku lebih tinggi
kedudukannya dari yang lain. Setiap suku bergantian menduduki tempat yang
superior dan tempat di bawah. Struktur tradisi kesukuan ini merupakan sebuah
mekanisme ke arah demokrasi, yang seandainya kita pandai mengembangkannya dapat
merupakan kekuatan untuk tradisi demokrasi bangsa kita.
Datangnya
agama Budha, Hindu dan Islam, bangkitnya feodalisme, lalu datang orang Eropa
membawa penindasan penjajah, dan agama Nasrani, lalu lewat pendidikan Barat
masuk pula ilmu pengetahuan modern dan tekonologi modern telah mendorong
berbagai proses kemasyarakatan, politik, ekonomi, dan budaya, yang akhirnya
membawa manusia Indonesia pada keadaan hari ini.
Akar
budaya lama jadi layu dan terlupakan, meskipun ada diantaranya tanpa kita
sadari masih berada terlena di bawah sadar kita. Bangkitnya feodalisme di
Indonesia dengan lahirnya berbagai kerajaan besar dan kecil telah mengubah
hubungan antara kekuasaan dan manusia atau anggota masyarakat. Penjajahan
Belanda menggunakan sistem menguasai dan memerintah melalui kelas bangsawan
atau feodal lama Indonesia telah meneruskan tradisi feodal berlangsung terus
dalam masyarakat kita. Malahan setelah Indonesia merdeka, hubungan-hubungan
diwarnai nilai-nilai feodalisme masih berlangsung terus, hingga sering kita
mengatakan bahwa kita kini menghadapi neo-feodalisme dalam bentuk-bentuk baru.
Semua
pendidikan modern, falsafah Barat dan Timur, ideologi-ideologi yang datang dari
Barat mengenai manusia dan masyarakat. Agama Islam dan Nasrani yang jadi lapis
terakhir di atas kepercayaan-kepercayaan lama dan nilai-nilai akar budaya kita,
oleh daya sinkritisme manusia Indonesia, semuanya diterima dalam dirinya tanpa
banyak konflik dalam jiwa dan diri kita.
Sesuatu
terjadi dalam diri kita, hingga secara budaya tidak mampu memisahkan yang satu
dari yang lain: mana yang takhyul, mana yang ilmiah, mana yang bayangan, mana yang
kenyataan, mana yang mimpi dan mana dunia nyata. Malahan banyak orang kini
membuat ilmu dan teknologi jadi takhyul dalam arti, orang percaya bahwa ilmu
dan teknologi dapat menyelesaikan semua masalah manusia di dunia. Dan ada yang
berbuat sebaliknya.
Kita jadi
tidak tajam lagi membedakan mana yang batil dan mana yang halal. Karena itu
beramai-ramai dan penuh kebahagiaan kita melakukan korupsi besar-besaran, dan
tidak merasa bersalah sama sekali (Lubis, dalam ”Pembebasan Budaya-Budaya Kita;
1999).
Nama : Sumeiyi Shintayo
NPM : 16111937
Kelas : 1 KA 35
Tidak ada komentar:
Posting Komentar